Kamis, 01 Desember 2011

Masihkah Bahasa menunjukkan Karakter Bangsa

 



Miris sekali rasanya jika kita mendengar anak-anak sekarang berbicara dalam pergaulan mereka menggunakan sebutan-sebutan binatang. Mereka memanggil nama satu sama lain dengan nama binatang, lebih dari itu setiap selipan kata selalu disertai dengan kata-kata umpatan seperti : bego, goblog,edan, gila,dsb.
Pemakaian bahasa seperti itu mencerminkan pribadi mereka yang tidak memiliki nilai, etika dan harga diri. Mereka menilai diri mereka dan teman-teman mereka layaknya seperti binatang, bahkan lebih rendah dari itu.  Jika  dalam diri mereka sudah tidak ada harga diri, bagaimana mereka bisa mengangkat harkat dan derajat keluarga, masyarakat bahkan Negara.
Lihatlah, bagaimana berbagai gejolak yang sering terjadi di tengah masyarakat dewasa ini ? Kebrutalan, anarkhis, sadism dan bentuk-bentuk kebobrokan nilai kemanusiaan lainnya di pakai untuk menyikapi berbagai permasalahan yang dihadapi baik persolan yang bersifat pribadi sampai kepada masalah yang bersifat kebangsaan. Perilaku mereka tak jauh berbeda dengan perilaku binatang yang hidupnya tidak punya nilai dan aturan.
Akan lain halnya jika kita melihat kepada suatu  masyarakat dilingkungan tertentu yang berlaku pemakaian bahasa daerah dengan tata aturan yang ketat. Mereka bertutur dengan halus dan lembut, lalu bersikap dengan cara yang sopan dan santun, dan mereka memperlakukan penghormatan tertentu dalam menghadapi sesama manusia.
Tidak bermaksud untuk menolak “jaman kebebasan”, tetapi  jika dilihat secara seksama ternyata pemakaian bahasa daerah yang lebih dikenal dengan “Bahasa Ibu,. dapat membentuk perilaku yang lebih baik dibanding dengan penggunaan bahasa gaul .
Jika kita melihat kepada pepatah yang mengatakan “Bahasa menunjukan Bangsa”, akankah penggunaan bahasa gaul menunjukkan keadaan bangsa kita sekarang ini ?
Dalam rangka memperingati hari “Mother Language Day” yang dicanangkan oleh UNESCO pada tahun 1999, maka bagaimana kalau kita meninjau kembali dampak penggunaan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari. Pengunaan Bahasa Ibu sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai budaya daerah,adat istiadat,nilai, norma dan etika yang berlaku ditengah masyarakat. Bahkan Khaidar Al Wasilah salah seorang guru besar UPI menyebutkan bahwa Bahasa Ibu erat kaitannya dengan bahasa pendidikan dan agama.
Meninjau kepada banyaknya nilai-nilai yang terkandung dalam penggunaan Bahasa Ibu, baik dalam cara bertutur maupun penggunaan tidak ada salahnya bila bahasa ibu dapat dijadikan sarana untuk pembentukan karakter pribadi bangsa. Seorang anak yang dibesarkan dengan menggunakan bahasa ibu dirumahnya terlihat lebih santun dalam berbicara dan bersikap di banding dengan anak yang dibesarkan dengan menggunakan bahasa campuran (Bahasa Indonesia dan bahasa daerah). Hal ini dapat dibuktikan karena dalam bahasa ibu ada perbedaan penggunaan kata untuk anak. teman dan orang dewasa. Sehingga terasa sekali adanya penghormatan tertentu dalam memperlakukan seseorang. Sedangkan dalam bahasa Indonesia (tidak bermaksud merendahkan) penggunaan kata untuk tingkatan usia itu tidak ada perbedaan sehingga dalam menghadapi setiap orang itu sama.
Bahasa Ibu memberikan kepekaan berbahasa, artinya perbedaan bahasa halus dan kasar itu sangat terasa, Seseorang yang menggunakan bahasa ibu akan terlihat bagaimana ia menempatkan diri dalam berbicara dan berdampak pada perilaku. Dampak nilai yang tertanam dalam perilaku dapat membentuk karakter, karena dasar pembentukan karakter adalah kebiasaan-kebiasaan perilaku seseorang yang dipengaruhi oleh nilai, norma, adat istiadat dan budaya dimana seseorang itu berada.
 Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal menegaskan, bahwa pembentukan karakter bangsa yang belakangan ini menjadi isu di kalangan pendidik perlu dikembalikan pada keragaman kultur kita. Tradisi lisan, kekayaan budaya—kita alami lebih dulu budaya omong dibanding budaya tulis—harus dilestarikan sebagai pengaya pendidikan karakter bangsa. Mengibaratkan anak sebelum 6 tahun yang memiliki 100 miliar sel otak merupakan potensi, bangsa ini juga demikian. Tradisi lisan merupakan kekayaan budaya yang tidak saja perlu dilestarikan, tetapi juga dikembangkan, tulis mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Edi Sedyawati dalam makalahnya. Perlu dilakukan pendekatan multikultural agar diperoleh pemahaman komprehensif sehingga hasilnya bisa dipakai sebagai sumber belajar bagi pengembangan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, menjadi sumber bagi pembentukan karakter bangsa. Juwono Sudarsono melihat bahasa sebagai suatu proses pertama transformasi nilai-nilai karakter bangsa.  berharap dengan pengamalan budaya ini dapat menyaring persepsi dan pandangan-pandangan yang mengikis karakter.
Penggunaan bahasa ibu dapat pula membangkitkan rasa cinta kepada budaya sendiri, karena nilai-nilai budaya merupakan dasar pembentukan karakter. Kecintaan kepada budaya merupakan hal yang penting dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Kehidupan modern yang banyak dipengaruhi oleh budaya luar dapat mengilkis nilai-nilai budaya bangsa. Oleh sebab itu kecintaan terhadap budaya sendiri harus ditingkatkan melalui berbagai cara, salah satunya adalah penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar